Kameraliputan.com.,- Pasca pencapaian Timnas Indonesia yang berhasil melaju ke-Round 3 Kualifikasi Piala Dunia, pro dan kontra yang sebelumnya tidak mencuak sebagai isu nasional, kini kian bertebaran dimedia sosial dan menjadi perbincangan hangat dikalangan pengamat dan penggemar sepakbola Indonesia. Sebagian orang menilai bahwa prestasi Timnas Indonesia tersebut terkesan palsu karna pemain utama Timnas didominasi oleh pemain Naturalisasi yang dipanggil oleh Coach Sin Tae Yong melalui Ketum PSSI bapak Erick Thohir.
Dikutip dari TEMPO.CO – Akademisi sekaligus Pengamat politik, Rocky Gerung menyampaikan kritiknya terhadap proyek Naturalisasi Timnas Indonesia. Menurutnya, hal ini menimbulkan eufhoria semu karna mayoritas pemain yang tampil bukan hasil dari sistem pembibitan pemain muda lokal, serta secara nilai tidak Fit and Proper dengan prinsip-prinsip Patriotisme Indonesia seolah perjuangan atas Indonesia itu bernilai hanya Ketika dilakukan oleh seorang pribumi saja.
“Hari-hari ini kita mungkin melihat ada eufhoria dalam persepakbolaan kita, tetapi ueforia itu membatalkan atau membuat kita lupa bahwa yang bermain dilapangan itu bukan group yang kita idealkan karena yang sekarang disebut sebagai Naturalisasi itu semacam penipuan terhadap sensasi, Ujar Rocky Gerung. Ia juga mengatakan bahwa dasar dari sebuah Tim Nasional adalah kebanggaan Nasional yang lahir berkat keberlangsungan sistem pembibitan pemain muda didalam negeri, bukan Naturalisasi. Rocky menilai bahwa Naturalisasi sebagai jalan pintas dan pembenaran atas ketidakmampuan federasi menciptakan ekosistem sepak bola yang baik.
Pada puncaknya beberapa orang bahkan berkomentar tidak bangga dengan hasil pencapaian Timnas Indonesia karna menurutnya Ketika yang bermain bukanlah pemain lokal maka hal itu tidak layak disebut sebagai prestasi nasional. Dimana dengan tegas mereka menolak pemain Naturalisasi yang baginya bukan bagian dari anak kandung bangsa Indonesia. Lambat laun isu ini membangun suatu paradigma nasionalisme baru yang melihat bahwa prestasi nasional yang layak dibanggakan hanyalah Ketika hal itu diraih oleh pribumi saja, yang dimaksud pribumi (lokal pride) atau Akamsi (Anak Kampung Sendiri) inipun terkesan hanya dinilai pada hal-hal yang sifatnya aksidental semata, yakni pada ciri-ciri fisik secara umum orang Indonesia, Bahasa yang digunakan, juga pada asal daerahnya. Jika yang bermain dilapangan itu berkulit putih, bermata biru dan berbahasa asing maka itu bukan nasionalisme sekalipun mereka membawa nama Indonesia dan Garuda didada.
Selain itu, Jika diamati secara seksama, poin-poin yang juga menjadi kritik dan kontroversi dari kasus Naturalisasi ini ialah, 1. Perdebatan Soal Pengembangan Pemain Lokal Vs Pemain Naturalisasi, Salah satu isu yang sering muncul ialah kekhawatiran bahwa ketergantungan pada pemain Naturalisasi dapat menghambat pengembangan pemain muda lokal. Beberapa pihak menganggap bahwa Naturalisasi dilakukan sebagai Solusi jangka pendek, sementara seharusnya ada fokus yang lebih besar yakni pada pengembangan pemain lokal melalui akademi sepakbola dan kompetisi usia muda.
2. Kualitas Pemain Naturalisasi, isu lain yang sering diperdebatkan ialah kualitas pemain yang diNaturalisasi. Beberapa pemain yang diNaturalisasi dianggap tidak memberikan dampak signifikan terhadap performa Timnas Indonesia. Publik dan pengamat sering mempertanyakan apakah proses Naturalisasi hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan mendesak atau memang dilakukan untuk meningkatkan kualitas jangka panjang Tim.
3. Masalah Loyalitas, beberapa pemain Naturalisasi dipertanyakan loyalitasnya terhadap Timnas Indonesia. Ada beberapa kasus dimana pemain yang diNaturalisasi tidak menunjukkan komitmen penuh atau kinerja yang konsisten saat bermain untuk Indonesia. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah mereka benar-benar memiliki ikatan emosional dengan Indonesia atau hanya mencari kesempatan untuk bermain dilevel Internasional, atau dengan kata lain pemain-pemain tersebut tidak memiliki jiwa nasionalisme terhadap Indonesia.
Mari kita bedah satu-persatu. Isu diatas secara garis besar sangat erat kaitannya dengan prinsip Nasionalisme dan hal itu jugalah yang tak jarang digunakan sebagai senjata mengkritik pemain Naturaliasi. Sehingga sebagai Langkah awal, tentu kita perlu memperjelas pemahaman kita terkait Nasionalisme Indonesia sebagai titik berangkat yang jelas dan tegas dalam mengkaji isu tersebut. Apa landasan Nasionalisme kita? Sebagai Bangsa, kita terdiri dari berbagai macam suku, terdiri dari berbagai macam golongan agama, ras dan budaya, serta terdiri dari berbagai macam daerah. Persatuan Indonesia, sebagai cita ideal bangsa kita yang menjadi ruh atau semangat dari NKRI telah dijadikan sebagai satu butir nilai didalam Pancasila. Pancasila adalah dasar falsafah bangsa kita, sebagai ideologi negara. Jadi bisa dikatakan bahwa landasan dari Nasionalisme kita adalah Pancasila dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Semangat persatuan itu hanya bisa terjadi ketika berlandaskan pada kesadaran nilai Ketuhanan yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Juga pada wilayah selanjutnya sebagai perekat dan tambahan yang saling mengikat adalah nilai sila keempat dan sila kelima. Sebagai satu kesatuan yang kokoh. Artinya bahwa, kesadaran nasionalisme dalam bingkai NKRI, harus berlandaskan pada nilai-nilai dasar Pancasila atau bisa dikatakan bahwa Nasionalisme kita itu adalah buah dari Pancasila sebagai ideologi bangsa yang sakti.
Disini, Nasionalisme Pancasila sejatinya ialah nasionalisme yang Plural, yang tidak melihat perbedaan warna kulit, suku-bangsa bahkan agama sebagai jurang pemisah didalam bernegara atau didalam sepak-juang kita membangun Indonesia. Salah-satu semboyan negara yang sangat iconic yang juga syarat akan nilai Pancasila ialah Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna berbeda-beda tetapi tetap satu jua, dengan kata lain perbedaan bukanlah sesuatu yang ditolak oleh Pancasila bahkan Pancasila melihat perbedaan sebagai kepastian yang melahirkan keindahan dan kekayaan. Sederhananya Nasionalisme Pancasila ialah Nasionalisme yang tidak terbatas pada hal-hal yang aksidental dan partikulir saja, bahwa tidak mesti berkulit kuning langsat untuk mencintai Indonesia, berkulit putih, hitam, sawo matang, dll juga bisa mencintai Indonesia. Bahwa tidak mesti bermata hitam dan lahir di makassar untuk mencintai Indonesia, bermata biru, orange, putih, lahir di jawa, di Belanda, dieropa ditimur Tengah dll juga bisa mencintai Indonesia.
Pemahaman Nasionalisme Pancasila diatas jika dimasukkan dalam konteks Timnas Indonesia, sejatinya tidak menolak atau bertentangan dengan proyek Naturalisasi PSSI hari ini. Dimana saat ada orang yang hendak berjuang dengan kesadaran dan tanggung jawab, dengan sungguh-sungguh dan komitmen atas Indonesia maka ia layak diberi kesempatan, apalagi jika orang tersebut memiliki bakat dan kemampuan yang dibutuhkan Indonesia itu sendiri. Mau sukunya apa, agamanya apa, Bahasanya apa, lahir dimana dengan konsep pluralisme kita maka hal itu sama sekali tidak mencekal orang tersebut untuk ikut memperjuangkan dan membanggakan bangsa Indonesia. Itulah alasan mengapa dalam sistem perundang-undangan kita juga Naturalisasi tidak menjadi hal yang tabu atau bahkan haram, bahwa hal itu sah-sah saja yang jelas berjalanan sesuai mekanisme dan regulasi yang diatur oleh negara dan bertanggung jawab tentunya.
Selanjutnya, kita tidak bisa memberi stigma bahwa kualitas kecintaan atas Indonesia itu hanya diukur dari warna kulit, Bahasa, asal daerah dan semacamnya, sebab bisa jadi ada orang-orang yang meski lahir diluar negeri memiliki warna kulit yang beda dengan warna kulit secara umum orang Indonesia tapi justru memiliki kecintaan yang kuat dan menginginkan kebaikan untuk Indonesia. Sebut saja Laksamana Muda John Lie Tjeng Tjoan seorang peranakan Tionghoa yang lahir di Manado, ia adalah seorang anggota Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) yang aktif dalam misi-misi penyelundupan senjata untuk Indonesia selama agresi militer Belanda, atau Hugh O’Neil ia seorang wartawan dan tentara asal inggris yang aktif berjuang untuk Indonesia selama revolusi nasional Indonesia. O’Neil membantu menyampaikan berita perjuangan Indonesia kedunia Internasioanl melalui artikelnya yang diterbitkan diberbagai surat kabar internasional saat itu. Atau juga yang sering kita dengar Namanya ialah Dr Ernst Douwes Dekker (Danudirdja Setyabudi), Douwes Dekker adalah seorang keturunan Belanda-Jawa yang menjadi salah-satu tokoh pergerakan Nasional Indonesia. Ia berperan penting dalam menyebarkan gagasan nasionalisme dan kemerdekaan untuk Indonesia. Disaat yang sama justru ada orang pribumi asli yang malah menjadi mata-mata asing atau penghianat negara, membantu penjajah menindas sesama rakyat Indonesia.
Terkait isu ketimpangan pengembangan antara pemain lokal dan Naturalisasi, sejatinya hal ini sudah berulang kali dijawab oleh PSSI dan dibuktikan didalam Tindakan nyata, bahwa mereka tidak menutup mata dengan hal tersebut, pengembangan pemain muda sejak dini melalui sekolah sepak bola dan kompetisi terus dijalankan, pembinaan Timnas kelompok umur juga bisa kita pantau secara umum melalui media sosial, hanya memang hal-hal ini lebih sedikit diEkspos ketimbang Timnas Senior yang berlaga dikualifikasi Piala Dunia yang sementara banyak diisi dengan pemain Naturalisasi. Selain itu kita juga bisa melihat bagaimana kompetisi profesional didalam negeri baik Liga 1 maupun Liga 2 dibenahi secara perlahan oleh PSSI.
Isu selanjutnya mengenai kualitas pemain Naturalisasi, Bapak Erick Tohir selaku ketum PSSI itu telah menegaskan bahwa ia hanya ingin meNaturalisasi Pamain yang memiliki grade Unggul (A), sehingga hal ini tidaklah dilakukan tanpa pertimbangan dan data yang matang, tentu ini juga berdampak jangka Panjang dimana terjadi transfer pengalaman dan skill antara pemain Naturalisasi yang memiliki pengalaman bermain di eropa sebagai kiblat Sepakbola ke pemain lokal kita, secara kasat mata kualitas mereka dapat dilihat dilapangan dan tentu prestasi bahwa Timnas Indonesia tembus ke round 3 kualifikasi piala dunia untuk pertama kali juga dapat menjadi tolak ukur bahwa pemain yang diNaturalisasi memiliki kemampuan lebih dibanding pemain Timnas Era sebelumnya.
Terakhir, isu terkait Loyalitas, sedikit banyaknya hal ini terjawab pada paragraph-paragraf diatas, bahwa kita tidak bisa menilai loyalitas seseorang hanya dengan melihat warna kulit, tempat lahir atau latar belakang lainnya, tidak bisa juga hanya sekedar dengan ucapan yang sangat bisa dipalsukan, loyalitas para pemain dapat kita lihat saat mereka bertanding dilapangan hijau, bagaimana mereka siap jatuh bangun saat membawa bola, mereka terus berlari selama 90 menit, pantang menyerah dan selalu mengejar kemenangan untuk Timnas tentunya.
Dan ini berlaku bukan hanya untuk pemain Naturalisasi saja, berbicara ketidak-loyalan sejatinya bisa melanda semua pemain entah itu lokal maupun Naturalisasi, dimasa lalu Sepakbola kita pernah terjerat oleh mafia yang dengan muda memainkan hasil pertandingan cukup dengan membayar pemain saja, dan dibeberapa kasus melibatkan pemain lokal Timnas kita, hal ini menjadi sebuah catatan kelam sejarah sepakbola Indonesia yang tak terbantah dan tak boleh terulang tentunya. Sehingga kita tidak boleh dengan mudah memberikan stigma Negatif kepada pemain Nasional kita, siapapun dia, dari manapun asalnya, saat ia hendak membela dan berjuang atas nama Merah-Putih, maka ia bagian dari bangsa Indonesia.
Terakhir, mari kita selalu mendukung Timnas Sepakbola Indonesia agar terus berkembang dan menorehkan prestasi sebanyak-banyaknya, memantau dengan bijak pembinaan dan pengembangan sepakbola usia dini didalam negeri. Dan lebih jauh lagi mari menjadikan Sepakbola sebagai olahraga yang mempersatukan bangsa Indonesia, bukan justru merusak atau memecahbela Anak Negeri.
Bangkit dan Jaya terus Sepakbola Indonesia. Salam Pemuda, Pemuda Bangkit.
Muh. Arjun Wirajaya, S.Kep., Ners. ~ Ketua Umum KPN Takalar.