MAKASSAR, Kameraliputan.com – Jalan Urip Sumohardjo di Kota Makassar bergemuruh. Bukan oleh suara kendaraan yang berlalu-lalang, melainkan oleh seruan massa aksi yang memenuhi aspal, menyuarakan aspirasi dan kegelisahan yang telah lama bersemayam. Ketegangan membayang di udara, gema ketidakpuasan berpadu dengan keprihatinan yang mendalam. Sebab, di balik lautan spanduk dan orasi yang membakar, ada cerita pilu yang mengalir: korban jiwa telah jatuh, meninggalkan luka yang menganga di hati masyarakat Sulawesi Selatan.
Di tengah hiruk-pikuk itu, sebuah pemandangan tak terduga muncul. Sosok Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman, melangkah maju. Tidak dari balik barikade keamanan atau mimbar yang tinggi, melainkan langsung ke tengah-tengah kerumunan yang semula penuh amarah. Kehadiran orang nomor satu di Sulsel itu, bak setetes embun di padang gersang, seketika mengubah dinamika suasana. Decak kagum dan keheningan singkat menyelimuti, seolah memberi ruang bagi pemimpin untuk mendekat, bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai bagian dari mereka.
Wajah Gubernur Andi Sudirman memancarkan ketenangan namun sarat keprihatinan. Dengan suara yang jelas dan tegas, namun tanpa sedikit pun nada menggurui, ia berbicara. “Sudah ada korban jiwa, saya mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk menahan diri. Mari kita jaga Sulsel tetap aman dan damai,” pesannya, menyentuh inti kepedihan kolektif yang dirasakan. Ia tahu, di tengah emosi yang meluap, kata-kata penenang dan seruan untuk menahan diri adalah hal yang esensial.
Lebih dari sekadar menenangkan, kehadiran Gubernur malam itu adalah upaya dialogis. Ia tidak hanya memberi pesan, tetapi juga membuka telinga, mendengarkan setiap aspirasi yang disampaikan. Keberaniannya untuk turun langsung, berinteraksi tanpa sekat, menjadi jembatan komunikasi yang selama ini mungkin terasa jauh. Ia menekankan pentingnya menjaga stabilitas di setiap wilayah, mengutamakan ketertiban, dan keamanan bersama, sebagai prasyarat bagi kemajuan daerah.
Pantauan di lapangan menunjukkan, sentuhan langsung dari Gubernur Andi Sudirman terbukti menjadi katalisator. Atmosfer yang tadinya tegang perlahan melunak, amarah mulai mereda, berganti dengan keinginan untuk berdialog. Suasana aksi tetap kondusif, menandakan bahwa keberanian seorang pemimpin untuk menemui langsung rakyatnya, mendengarkan, dan berbicara dari hati ke hati, memiliki kekuatan luar biasa dalam meredakan gejolak sosial.
Sebelum beranjak, Gubernur Andi Sudirman kembali menegaskan komitmen bersama untuk masa depan Sulsel. “Kita semua mencintai daerah ini. Mari kita rawat kedamaian, saling menghormati, dan menjaga persatuan demi masa depan Sulawesi Selatan yang lebih baik,” terangnya, meninggalkan pesan yang kuat tentang persatuan dan harapan.
Malam itu, di Jalan Urip Sumohardjo, bukan hanya sebuah aksi unjuk rasa yang berlangsung, melainkan sebuah demonstrasi kepemimpinan yang berempati. Andi Sudirman Sulaiman tidak hanya menjadi seorang pemimpin, tetapi juga seorang pendengar, seorang penenang, dan seorang penyeru persatuan, di saat Sulawesi Selatan sangat membutuhkannya. Sebuah pelajaran berharga tentang kekuatan empati dan komunikasi langsung dalam meredakan gejolak sosial, dan merajut kembali harapan untuk Sulawesi Selatan yang damai dan bersatu.