Dua Hari di Bawah Sayap Kertas: Pembelajaran Saat Kota Berbisik

blank

MAROS, Kameraliputan.com – Langit di atas Kabupaten Maros terlihat sama seperti biasa: biru jernih yang menjanjikan semangat. Namun, ada keheningan yang tidak biasa yang menyelimuti lima kecamatannya. Jalanan di sekitar kompleks sekolah, yang biasanya riuh oleh celoteh seragam putih-merah, dering bel sepeda, dan sapaan riang, sunyi sepi. Pagi itu, gerbang sekolah terkunci. Tapi ini bukan liburan biasa; ini adalah sebuah jeda yang disengaja, sebuah nafas panjang yang diambil oleh sebuah komunitas untuk memastikan detak jantungnya—anak-anaknya—tetap aman.

Kebijakan Belajar dari Rumah (BDR) yang diterapkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Maros untuk dua hari ke depan adalah lebih dari sekadar pengumuman di media sosial. Ia adalah sebuah perisai yang dibangun dari meja rapat dan kabel fiber optik. Andi Wandi Patabai, sang Plt. Kepala Dinas, menjelaskannya dengan nada yang tenang namun tegas: ini adalah langkah protektif, sebuah antisipasi yang lahir dari koordinasi ketat dengan aparat. Awalnya hanya untuk sepuluh sekolah di wilayah kota Turikale. Namun, seperti bayangan yang merambat, informasi berkembang. Rencana aksi yang membentang dari jantung kota Maros menuju bandara baru menjadi penanda bahwa keamanan memiliki radius yang lebih luas. Maka, keputusan pun diperluas, menjangkau Mandai, Maros Baru, Marusu, dan Lau dalam satu payung kebijakan yang sama.

“Ini semata-mata untuk keselamatan,” tegas Wandi. Kalimat itu bergema di ruang rumah-rumah warga, meyakinkan bahwa yang terjadi bukanlah ketakutan, tetapi kewaspadaan. Bahwa memilih untuk tidak berkumpul di satu tempat terkadang adalah bentuk kekuatan yang paling bijak.

Lalu, apakah pembelajaran mati? Sama sekali tidak. Ia hanya bermetamorfosis.

Di sudut ruang tamu rumahnya di Marusu, Sari, seorang siswi SMP, membuka laptopnya. Layarnya yang tadinya gelap kini hidup dengan percakapan daring di grup kelas. Gurunya, Bu Ani, tidak hadir secara fisik, tetapi suaranya terdengar jelas melalui rekaman suara yang dikirimkannya, menjelaskan tentang rumus matematika dengan sabar. Aktivitas belajar berpindah dari bangku kayu ke karpet empuk, dari papan tulis kapur ke layar sentuh. Sekolah tidak libur; sekolah sedang melakukan perjalanan melalui kabel dan gelombang wifi.

Sementara itu, di Kecamatan Lau, Rafi justru sibuk dengan tugasnya. Gurunya memberikan penugasan mandiri: amati satu jenis tanaman di sekitar rumah dan catat perkembangannya selama dua hari. Kebijakan BDR dalam praktiknya ternyata lentur. Ia bisa menjadi webinar interaktif bagi yang terjangkau internet, atau menjadi petualangan observasi kecil-kecilan bagi yang tinggal di pinggiran. Intinya, naluri untuk mengetahui dan memahami terus diasah, meski dinding kelas digantikan oleh dinding rumah.

Peran pun bergeser. Wandi telah meminta para guru untuk memanfaatkan teknologi, dan para orang tua untuk berperan aktif. Ibu-ibu dan bapak-bapak yang biasanya melepas anaknya di gerbang sekolah, kini menjadi ‘asisten guru’ sementara. Mereka mendampingi, memastikan anaknya tidak tergoda untuk membuka tab gim saat seharusnya melihat tutorial dari guru. Ada percakapan baru yang terjalin antara sekolah dan rumah melalui grup WhatsApp, sebuah koordinasi untuk memastikan proses belajar tetap terpantau, bahwa masa depan anak-anak ini tidak goyah oleh situasi.

Kebijakan ini, seperti ditegaskan, hanya sementara. Dua hari. Sebuah waktu yang singkat dalam kalender, tetapi cukup untuk mengajarkan satu pelajaran penting: bahwa belajar adalah tentang adaptasi, dan keselamatan adalah fondasi dari segalanya. Keputusan untuk memperpanjang atau mengakhiri BDR akan ditentukan oleh bagaimana suasana di kota itu sendiri bernafas esok hari.

Jika kondisi sudah kondusif, gerbang sekolah akan dibuka kembali, diisi oleh tawa dan langkah riang yang telah dirindukan. Tapi jika langit masih berbisik tentang kewaspadaan, maka perisai digital ini akan tetap terbentang. Sebab, terkadang, melindungi mimpi yang tertuang di buku tulis sama pentingnya dengan melaksanakan proses belajarnya. Dan untuk sementara, di Maros, mimpi-mimpi itu dilindungi di bawah sayap-sayap kertas tugas dan sinyal daring, menunggu hingga kota benar-benar siap untuk menyambut mereka kembali.

WhatsApp
Facebook
Twitter

Berita Terkait: